Selasa, 16 Oktober 2012

Kematian Orang Tercinta VS Keadilan Tuhan.....!!!!

Untuk saudara''ku smua, baca dan pahami catatan yg saya bwt untuk sekedar perenungan dan pembelajaran...!!!


Pernahkah terlintas dalam pikiran kita untuk mempertanyakan keadilan Tuhan dalam kasus-kasus kematian yang sangat menyayat hati dan meluluhlantahkan seluruh harapan untuk hidup? Dimanakah letak keadilan Tuhan harus dimengerti manakala orang-orang tercinta kita harus pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kita sementara dalam kaca mata dan rasio pemikiran kita orang yang meninggalkan kita masih terlalu muda atau masih memiliki beban tanggung jawab yang tak dapat didelegasikan kepada orang lain? Bukan saja kematian, akan tetapi dalam penderitaan-penderitaan teramat berat yang menimpa kita, dimana segala daya upaya kita untuk keluar dari penderitaan tersebut telah berujung pada sebuah kesia-siaan dan malahan tidak ada harapan sama sekali di manakah Tuhan yang disebut Mahaadil?

Tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu perenungan semata yang mencoba mengangkat penderitaan manusia terutama kematian orang-orang tercinta dengan mencoba membedahnya dari kasus per kasus. Melalui pembedahan kasus per kasus, keadilan Tuhan sebagai tujuan tulisan ini akan coba ditelusuri. Kasus-Kasus:

1.Wanita muda itu
menangis tersedu sedan di samping jenasah suaminya. Mereka baru saja menikah 2 tahun. Anaknya baru berusia 3 bulan. Ia tidak dapat mengerti mengapa suami, orang yang dicintainya begitu cepat dipanggil oleh Tuhan. Orang yang kepadanya ia gantungkan seluruh hidupnya, anaknya dan seluruh masa depan keluarganya. Semenjak menikah dengan suaminya itu, ia telah berhenti bekerja supaya dapat mengurus rumah tangganya. Kini dengan kematian suaminya ia
memperoleh satu status baru; janda muda. Akan ke manakah ia menggantungkan seluruh hidupnya dan anaknya kelak. Dalam keputusasaan ia berseru kepada Tuhan dalam tangis yang tak tertahankan “Tuhan, ambil saja nyawaku penderitaan yang Tuhan timpakan kepadaku, tak dapat aku tanggung. Kepada siapakah nanti anakku akan memanggil Ayah…?”

2.Bocah kecil berusia 2 tahun dalam gendongan seorang ibu tua, tertawa terpingkal-pingkal
melihat boneka lucu yang dibawa seorang anak lain yang ada disampingnya. Orang-orang disekitarnya sedang menangisi kematian dua orang yang dibaringkan di ruang tamu rumah tersebut. Ia tidak tahu bahwa dua orang yang ditangisi tersebut adalah kedua orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan maut hari itu. Ia hanya menangis manakala lapar dan minta makan, atau haus dan meminta minum kepada neneknya. Neneknya dengan tiada henti menangis sebab di usia yang masih sangat muda ini, cucunya sudah harus menjadi seorang yatim-piatu “Tuhan,
Engkau sangat sadis” kata nenek itu, disela-sela tangisnya.

3.Ia baru enam bulan menjabat sebagai
seorang Uskup. Tetapi suatu penyakit telah merenggut nyawanya. Segala daya upaya telah diusahakan supaya sang Uskup bisa sembuh dan bisa kembali menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Tetapi segala daya upaya itu sia-sia.
Tepat pukul 10.00 pagi lonceng Katedral berdentang menandakan sesuatu yang penting sedang terjadi. Dan berita pagi itu mengagetkan seluruh umat dalam keuskupan yang dipimpin oleh uskup tersebut. Umatnya tak dapat mengerti dengan peristiwa tersebut. Manakala umat berkumpul untuk mendoakan sang uskup, seorang umat menyelutuk “Tuhan kita aneh ya, Ia yang memberikan kepada kita seorang gembala, kok teganya Ia mengambilnya kembali
secepat itu ya? Aku tidak mengerti

4.Gempa bumi serta Tsunami telah meluluhlantakan dan meratakan kota tersebut. Beribu-ribu nyawa melayang. Tak terhitung berapa kerugian materiil. Banyak anak menjadi
yatim-piatu. Ribuan istri menjadi janda. Tak terhitung kaum lelaki yang harus kehilangan istri dan anak-anaknya. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Ketika bencana tersebut telah berlalu, bencana baru menghujam kehidupan orang-orang yang masih hidup. Ribuan mayat bergelimpangan sepanjang kota tersebut. Makanan menjadi sangat sulit, sebab
bantuan yang diharapkan tak kunjung tiba. Penyakit mulai menghinggapi anak-anak dan para kaum tua. Tiada rumah sakit, tiada obat-obatan, tiada tempat tingal yang layak. Dalam ketiadaan harapan dari orang-orang yang selamat,
gugatan terhadap Tuhan akhirnya nyaring terdengar sebagai sebuah ratapan “Tuhan, di manakah keadilan-Mu, Engkau yang kami kumandangkan nama-Mu setiap waktu, Engkau yang kami puja sebagai yang Mahaadil, Mahapemurah, Mahapenyayang, Mahaberbelaskasih dan segala ragam Maha, mengapa Engkau menimpakan derita dan bencana ini kepada kami? Apakah kami telah terlalu berdosa di hadapan-Mu sehingga hendak Engkau binasakan dengan bencana ini? suara ratapan lain menggema dari dalam tenda penampungan.


Analisa Kasus: Meneropong Keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan adalah sesuatu yang terkadang sangat sulit untuk dimengerti dalam pandangan dan kaidah berpikir rasional manusia. Ketidakmengertian ini harus dipahami dalam kondisi manusia yang tertekan dan putus asa. Sebab dalam keadaan tersebut manusia kehilangan daya berpikir yang jernih. Dalam kasus pertama dimana seorang wanita harus kehilangan suami yang baru 2 tahun dinikahinya dan dalam kasus kedua dimana seorang anak harus kehilangan kedua orang tuanya, ada persamaan dalam kedua kasus ini dimana kedua kasus ini menampilkan kematian orang yang sangat bertanggungjawab terhadap kehidupan orang yang ditinggalkan. Lalu dimanakah keadilan Tuhan? Orang yang mengalami kematian biasanya diteguhkan oleh orang-orang
di sekitarnya untuk tabah, sabar, ikhlas menghadapi peristiwa pilu yang dialaminya. Keadilan Tuhan dalam kasus ini adalah bahwa Tuhan memakai peristiwa tersebut (kematian suami dalam kasus pertama dan kedua orang tua bagi anak kecil dalam kasus kedua), untuk melaksanakan rencana-Nya kelak bagi orang yang ditinggalkan. Secara sederhana, keadilan Tuhan juga nampak dalam kehadiran orang-orang yang masih menemani orang yang ditinggalkan semisal anak bagi istri yang ditinggalkan dalam kasus pertama dan nenek bagi anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya dalam kasus kedua. Dalam kasus ketiga Uskup yang baru enam bulan menjabat harus meninggal karena penyakit yang dideritanya. Penyakit yang tak tersembuhkan merupakan sarana Allah menunjukkan keadilan-Nya. Bahwa melalui peristiwa tersebut Tuhan hendak menyatakan bahwa ada suatu rencana lain yang akan dibuat-Nya bagi umat dalam
keuskupan uskup yang telah meninggal tersebut. Tuhan memanggilnya agar ia bisa menjadi pendoa bagi umatnya yang ditinggalkannya. Atau ada rencana Tuhan yang lain bagi orang lain yang telah dipilih Tuhan untuk menggantikan uskup yang telah meninggal tersebut. Dalam kasus keempat, bencana alam yang meluluhlantahkan dan menghilangkan beribu-beribu nyawa di manakah letak keadilan Tuhan? Tuhan terkadang memakai bencana alam atau penyakit sebagai
sarana memurnikan dunia. Bahwa melalui bencana tersebut manusia disadarkan untuk senantiasa membaharui hidupnya yang mungkin saja tidak berkenan kepada Tuhan. Dan bagi orang-orang yang masih hidup, kenyataan bahwa mereka masih hidup harus menumbuhkan sebuah kesadaran untuk semakin berlaku baik sebagai ciptaan Tuhan.
Bencana harus dipahami sebagai sarana Tuhan menunjukkan kemahakuasaan-Nya kepada manusia. Ketika kematian merengkuh orang yang sangat kita cintai, sebuah pertanyaan eksistensial merebak dari dalam nurani dan rasionalitas kita, dimanakah keadilan Tuhan? Keadilan Tuhan adalah misteri yang tak dapat ditangkap sepenuhnya oleh nalar manusia. Kematian merupakan sarana yang menunjukan keadilan Tuhan, dimana manusia disadarkan untuk menyadari seluruh hidupnya sebagai semata anugerah Tuhan. Di sisi lain, kematian menyadarkan manusia akan kefanaan dunia. Bahwa pada waktunya semua manusia akan kembali kepada-Nya. Seseorang yang mengalami kematian orang yang dicintainya mungkin saja akan memberi jawab kepada orang yang menghiburnya. Anda berbicara tentang ketabahan, keikhlasan, pasrah tapi bagaimana bila anda yang mengalaminya? Setiap jawaban
yang diberikan orang lain kepada orang yang sedang mengalami sebuah peristiwa duka, sebenarnya jawaban yang merupakan bukan jawaban. Sebab jawaban yang sesungguhnya hanya ada pada Tuhan sendiri.

1 komentar:

  1. Tulisan bagus tapi apakah rencana Tuhan hanya bisa di ujudkan dengan mencabut nyawa manusia? Ibu yg suaminya meinggal, bukankah akan banyak hal yg bisa di kerjakan bersama kalau suaminya masih hidup? Uskup yg hidup doanya akan kurang manjurkah, sehingga harus meninggal dulu?

    BalasHapus