Untuk saudara''ku smua, baca dan pahami catatan yg saya bwt untuk sekedar perenungan dan pembelajaran...!!!
Pernahkah
terlintas dalam pikiran kita untuk mempertanyakan keadilan Tuhan dalam
kasus-kasus kematian yang sangat menyayat hati dan meluluhlantahkan
seluruh harapan untuk hidup? Dimanakah letak keadilan Tuhan harus
dimengerti manakala orang-orang tercinta kita harus pergi untuk
selama-lamanya meninggalkan kita sementara dalam kaca mata dan rasio
pemikiran kita orang yang meninggalkan kita masih terlalu muda atau
masih memiliki beban tanggung jawab yang tak dapat didelegasikan kepada
orang lain? Bukan saja kematian, akan tetapi dalam
penderitaan-penderitaan teramat berat yang menimpa kita, dimana segala
daya upaya kita untuk keluar dari penderitaan tersebut telah berujung
pada sebuah kesia-siaan dan malahan tidak ada harapan sama sekali di
manakah Tuhan yang disebut Mahaadil?
Tulisan ini
dimaksudkan sebagai suatu perenungan semata yang mencoba mengangkat
penderitaan manusia terutama kematian orang-orang tercinta dengan
mencoba membedahnya dari kasus per kasus. Melalui pembedahan kasus per
kasus, keadilan Tuhan sebagai tujuan tulisan ini akan coba ditelusuri.
Kasus-Kasus:
1.Wanita muda itu
menangis tersedu
sedan di samping jenasah suaminya. Mereka baru saja menikah 2 tahun.
Anaknya baru berusia 3 bulan. Ia tidak dapat mengerti mengapa suami,
orang yang dicintainya begitu cepat dipanggil oleh Tuhan. Orang yang
kepadanya ia gantungkan seluruh hidupnya, anaknya dan seluruh masa depan
keluarganya. Semenjak menikah dengan suaminya itu, ia telah berhenti
bekerja supaya dapat mengurus rumah tangganya. Kini dengan kematian
suaminya ia
memperoleh satu status baru; janda muda. Akan ke
manakah ia menggantungkan seluruh hidupnya dan anaknya kelak. Dalam
keputusasaan ia berseru kepada Tuhan dalam tangis yang tak tertahankan
“Tuhan, ambil saja nyawaku penderitaan yang Tuhan timpakan kepadaku, tak
dapat aku tanggung. Kepada siapakah nanti anakku akan memanggil Ayah…?”
2.Bocah kecil berusia 2 tahun dalam gendongan seorang ibu tua, tertawa terpingkal-pingkal
melihat
boneka lucu yang dibawa seorang anak lain yang ada disampingnya.
Orang-orang disekitarnya sedang menangisi kematian dua orang yang
dibaringkan di ruang tamu rumah tersebut. Ia tidak tahu bahwa dua orang
yang ditangisi tersebut adalah kedua orang tuanya yang meninggal dalam
kecelakaan maut hari itu. Ia hanya menangis manakala lapar dan minta
makan, atau haus dan meminta minum kepada neneknya. Neneknya dengan
tiada henti menangis sebab di usia yang masih sangat muda ini, cucunya
sudah harus menjadi seorang yatim-piatu “Tuhan,
Engkau sangat sadis” kata nenek itu, disela-sela tangisnya.
3.Ia baru enam bulan menjabat sebagai
seorang
Uskup. Tetapi suatu penyakit telah merenggut nyawanya. Segala daya
upaya telah diusahakan supaya sang Uskup bisa sembuh dan bisa kembali
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Tetapi segala daya upaya itu
sia-sia.
Tepat pukul 10.00 pagi lonceng Katedral berdentang
menandakan sesuatu yang penting sedang terjadi. Dan berita pagi itu
mengagetkan seluruh umat dalam keuskupan yang dipimpin oleh uskup
tersebut. Umatnya tak dapat mengerti dengan peristiwa tersebut. Manakala
umat berkumpul untuk mendoakan sang uskup, seorang umat menyelutuk
“Tuhan kita aneh ya, Ia yang memberikan kepada kita seorang gembala, kok
teganya Ia mengambilnya kembali
secepat itu ya? Aku tidak mengerti
4.Gempa
bumi serta Tsunami telah meluluhlantakan dan meratakan kota tersebut.
Beribu-ribu nyawa melayang. Tak terhitung berapa kerugian materiil.
Banyak anak menjadi
yatim-piatu. Ribuan istri menjadi janda. Tak
terhitung kaum lelaki yang harus kehilangan istri dan anak-anaknya.
Banyak orang kehilangan pekerjaan. Ketika bencana tersebut telah
berlalu, bencana baru menghujam kehidupan orang-orang yang masih hidup.
Ribuan mayat bergelimpangan sepanjang kota tersebut. Makanan menjadi
sangat sulit, sebab
bantuan yang diharapkan tak kunjung tiba.
Penyakit mulai menghinggapi anak-anak dan para kaum tua. Tiada rumah
sakit, tiada obat-obatan, tiada tempat tingal yang layak. Dalam
ketiadaan harapan dari orang-orang yang selamat,
gugatan terhadap
Tuhan akhirnya nyaring terdengar sebagai sebuah ratapan “Tuhan, di
manakah keadilan-Mu, Engkau yang kami kumandangkan nama-Mu setiap waktu,
Engkau yang kami puja sebagai yang Mahaadil, Mahapemurah,
Mahapenyayang, Mahaberbelaskasih dan segala ragam Maha, mengapa Engkau
menimpakan derita dan bencana ini kepada kami? Apakah kami telah terlalu
berdosa di hadapan-Mu sehingga hendak Engkau binasakan dengan bencana
ini? suara ratapan lain menggema dari dalam tenda penampungan.
Analisa Kasus: Meneropong Keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan
adalah sesuatu yang terkadang sangat sulit untuk dimengerti dalam
pandangan dan kaidah berpikir rasional manusia. Ketidakmengertian ini
harus dipahami dalam kondisi manusia yang tertekan dan putus asa. Sebab
dalam keadaan tersebut manusia kehilangan daya berpikir yang jernih.
Dalam kasus pertama dimana seorang wanita harus kehilangan suami yang
baru 2 tahun dinikahinya dan dalam kasus kedua dimana seorang anak harus
kehilangan kedua orang tuanya, ada persamaan dalam kedua kasus ini
dimana kedua kasus ini menampilkan kematian orang yang sangat
bertanggungjawab terhadap kehidupan orang yang ditinggalkan. Lalu
dimanakah keadilan Tuhan? Orang yang mengalami kematian biasanya
diteguhkan oleh orang-orang
di
sekitarnya untuk tabah, sabar, ikhlas menghadapi peristiwa pilu yang
dialaminya. Keadilan Tuhan dalam kasus ini adalah bahwa Tuhan memakai
peristiwa tersebut (kematian suami dalam kasus pertama dan kedua orang
tua bagi anak kecil dalam kasus kedua), untuk melaksanakan rencana-Nya
kelak bagi orang yang ditinggalkan. Secara sederhana, keadilan Tuhan
juga nampak dalam kehadiran orang-orang yang masih menemani orang yang
ditinggalkan semisal anak bagi istri yang ditinggalkan dalam kasus
pertama dan nenek bagi anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya dalam
kasus kedua. Dalam kasus ketiga Uskup yang baru enam bulan menjabat
harus meninggal karena penyakit yang dideritanya. Penyakit yang tak
tersembuhkan merupakan sarana Allah menunjukkan keadilan-Nya. Bahwa
melalui peristiwa tersebut Tuhan hendak menyatakan bahwa ada suatu
rencana lain yang akan dibuat-Nya bagi umat dalam
keuskupan
uskup yang telah meninggal tersebut. Tuhan memanggilnya agar ia bisa
menjadi pendoa bagi umatnya yang ditinggalkannya. Atau ada rencana Tuhan
yang lain bagi orang lain yang telah dipilih Tuhan untuk menggantikan
uskup yang telah meninggal tersebut. Dalam kasus keempat, bencana alam
yang meluluhlantahkan dan menghilangkan beribu-beribu nyawa di manakah
letak keadilan Tuhan? Tuhan terkadang memakai bencana alam atau penyakit
sebagai
sarana memurnikan dunia. Bahwa
melalui bencana tersebut manusia disadarkan untuk senantiasa membaharui
hidupnya yang mungkin saja tidak berkenan kepada Tuhan. Dan bagi
orang-orang yang masih hidup, kenyataan bahwa mereka masih hidup harus
menumbuhkan sebuah kesadaran untuk semakin berlaku baik sebagai ciptaan
Tuhan.
Bencana harus dipahami sebagai
sarana Tuhan menunjukkan kemahakuasaan-Nya kepada manusia. Ketika
kematian merengkuh orang yang sangat kita cintai, sebuah pertanyaan
eksistensial merebak dari dalam nurani dan rasionalitas kita, dimanakah
keadilan Tuhan? Keadilan Tuhan adalah misteri yang tak dapat ditangkap
sepenuhnya oleh nalar manusia. Kematian merupakan sarana yang menunjukan
keadilan Tuhan, dimana manusia disadarkan untuk menyadari seluruh
hidupnya sebagai semata anugerah Tuhan. Di sisi lain, kematian
menyadarkan manusia akan kefanaan dunia. Bahwa pada waktunya semua
manusia akan kembali kepada-Nya. Seseorang yang mengalami kematian orang
yang dicintainya mungkin saja akan memberi jawab kepada orang yang
menghiburnya. Anda berbicara tentang ketabahan, keikhlasan, pasrah tapi
bagaimana bila anda yang mengalaminya? Setiap jawaban
yang
diberikan orang lain kepada orang yang sedang mengalami sebuah
peristiwa duka, sebenarnya jawaban yang merupakan bukan jawaban. Sebab
jawaban yang sesungguhnya hanya ada pada Tuhan sendiri.
Tulisan bagus tapi apakah rencana Tuhan hanya bisa di ujudkan dengan mencabut nyawa manusia? Ibu yg suaminya meinggal, bukankah akan banyak hal yg bisa di kerjakan bersama kalau suaminya masih hidup? Uskup yg hidup doanya akan kurang manjurkah, sehingga harus meninggal dulu?
BalasHapus