Sekitar lima tahun lalu terjadi insiden yang agak memalukan kota itu. Berawal dari segerombolan anak sekolah yang melancong dan tinggal di losmen murah, tak jauh dari muara. Itu musim liburan yang hiruk-pikuk. Mereka beruntung memperoleh losmen tersebut, meskipun keadaannya agak berantakan dan jorok, dengan beberapa kakus yang mampet dan air keruh. Gerombolan anak sekolah itu, semuanya delapan bocah lelaki, berharap menemukan kencan-musim-liburan, jauh dari orang tua. Sial bagi mereka, gadis-gadis yang bercelana pendek dengan senyum riang di bibir pantai, jika tak dijaga sedemikian rupa oleh ibu dan ayah mereka, sebagian besar digiring oleh pacar-pacar mereka.
Hingga salah satu dari mereka keluar dengan gagasan mencari tempat pelacuran. Mereka belum pernah melakukan itu, dan membayangkan akan memiliki cerita hebat untuk teman-teman mereka di sekolah, tak satu pun menolak gagasan ini. Menyewa empat sepeda, dan bekeliling kota, mereka bertanya kepada anak-anak setempat yang nongkrong di perempatan jalan, dimana tempat pelacuran. Anak-anak sekolah ini tak tahu, pelacur terakhir di kota itu telah diarak dan babak-belur satu bulan sebelumnya oleh gerombolan orang-orang saleh.
“Kalau masih ada satu yang tersisa,” kata anak-anak setempat yang bergerombol tersebut, “Itu untuk kami. Maaf.”
Dalam keadaan putus asa, dengan berahi yang meledak-ledak, delapan anak sekolah itu menemukan seorang perempuan gila di satu tepi jembatan. Perempuan itu berumur sekitar tiga puluhan. Tak terlalu buruk untuk mereka. Didorong insting alami, mereka memandikan si orang gila dan membawanya ke losmen. Demikianlah hal itu bermula.
Tapi tak ada yang tahu bagaimana hal itu menjalar ke beberapa pelancong lain. Selama beberapa waktu, polisi memperoleh laporan tentang pelancong-pelancong yang menangkap perempuan-perempuan gila dan membawanya ke losmen. Awalnya mereka tak terlalu menggubris hal ini, sebab para pemuda setempat kadang-kadang melakukan kesintingan serupa itu.
Hal ini baru menjadi skandal ketika seorang pengkhotbah, di hari Lebaran, mengeluhkan hal tersebut. Bahwa para pelancong dari mana-mana, datang ke kota itu, untuk meniduri orang-orang gila. Pengkhotbah secara berapi-api akan membawa umatnya untuk membakar losmen-losmen, kecuali polisi segera membersihkan kota dari orang-orang gila. Tentu saja mereka tak mungkin melarang pelancong datang, sebab bahkan penghidupan pengkhotbah sendiri tersangkut-paut dengan hal ini: ia membuat dendeng ikan yang sebagian besar dibeli oleh pelancong untuk oleh-oleh.
Pembersihan orang-orang gila pun dilakukan. Tak hanya perempuan-perempuan gila, tapi juga lelaki-lelaki gila. Semakin banyak orang gila yang ditangkap, semakin tampak serius mereka bekerja. Pertama-tama, polisi yang melakukan ini. Belakangan, petugas-petugas inilah yang melakukannya.
Kota itu kecil saja, di tepi pantai selatan Jawa. Mereka tak memiliki rumah sakit jiwa, bahkan rumah perawatan sederhana sekalipun tak ada. Hanya ada pusat kesehatan masyarakat dan sebuah panti asuhan. Jadi beginilah yang akan dilakukan oleh ketiga petugas di atas pick-up itu. Mereka akan berkeliling kota. Jika mereka menemukan ada orang gila di pinggir jalan, mereka menangkapnya, dan melemparkannya ke atas pick-up.
Menjelang sore, barangkali mereka telah menangkap dua atau tiga orang gila, pick-up berjalan keluar kota. Ke arah utara, mereka melintasi hutan jati milik pemerintah, yang memisahkan kota mereka dengan kota terdekat. Di tengah hutan itulah, mereka berhenti. Dan di sana, orang-orang gila itu dilepas.
Pengemudi pick-up itu Marwan, dan ia yang akan selalu mengucapkan salam perpisahan kepada orang-orang gila tersebut: “Sampai jumpa di akhir musim liburan!”
***
Ketika musim liburan berakhir, Marwan dan kedua temannya naik pick-up kembali dan pergi ke pinggiran hutan jati tersebut. Mereka tak menemukan orang-orang gila itu di sana, tentu saja. Terakhir ada tiga orang perempuan dan dua orang lelaki gila. Setelah memeriksa jalanan yang membelah hutan, mereka turun dari pick-up dan meninggalkan kendaraan itu di pinggir jalan.Marwan menenteng tali pramuka. Mereka tak pernah harus mengikat orang-orang gila tersebut, tapi tindakan berjaga-jaga selalu dilakukan. Kedua temannya, Darto dan Kartomo mengikuti. Darto menenteng tas punggung. Seperti di waktu-waktu sebelumnya, jika mereka tak menemukan orang-orang gila itu di tepi jalan, mereka mulai masuk ke dalam hutan. Sejauh yang mereka tahu, orang-orang gila ini tak pernah pergi jauh.
Mereka memeriksa sungai kecil di bawah bukit. Entah kenapa, mereka selalu menemukan orang gila pertama di sana. Seperti binatang, orang gila rupanya tak ingin jauh dari air. Benarlah, mereka menemukan salah satu orang gila di sana. Seorang lelaki. Meringkuk di sebuah batu besar, dengan kaki terjuntai ke arus air.
Marwan menghampirinya, berdiri di tepi batu, dan menendang si orang gila. Ia menoleh ke arah teman-temannya dan berkata:
“Mati.”
Mereka kehilangan seorang gila. Kartomo merogoh saku, mengeluarkan telepon genggam. Ia bersiap memotret mayat itu. Marwan dan Darto berjongkok di samping mayat, sedikit bergaya. Dengan senyum mengembang. Kartomo memijit tombol telepon genggam, terdengar bunyi tanda ia selesai memotret.
Mayat itu belum bau, tapi tetap saja mereka meludah. Setelah Kartomo memotretnya beberapa kali lagi, mereka meneruskan perjalanan, mengikuti arus air. Meninggalkan mayat tersebut tanpa menyentuhnya lagi. Itu urusan polisi, kata mereka.
Orang gila kedua terdengar suaranya, dari arah puncak bukit. Tak jelas apa yang dilakukannya: menyanyi atau menggeram. Seorang perempuan. Darto yang pertama kali mendengar. Ia mendongak dan berbisik, “Dengar!” Setelah ketiganya sama mendengar, mereka bergegas menaiki lereng. Berpegangan pada pokok-pokok jati muda. Di atas bukit, ada gubuk tempat polisi hutan biasanya mengaso. Di sanalah perempuan gila itu berada. Menggeram-geram.
Tainya bertumpukan dimana-mana, di sekitar gubuk. Bau busuknya dengan segera menyergap hidung Marwan, Darto dan Kartomo.
“Anjing,” maki Darto. “Hai, Sinting, cepat pergi dari situ.”
Dengan susah-payah, mereka harus membawanya menuruni bukit dan membenamkannya ke sungai. Darto mengeluarkan gaun bersih dari tas pungguhnya, dan mengganti pakaian perempuan itu. Setelah memberinya lontong dan selembar roti tawar, perempuan gila itu akhirnya berjalan mengikuti mereka. Dan dalam perjalanan kembali naik ke bukit itulah, di setapak yang berbeda dengan sebelumnya, mereka menemukan orang gila ketiga.
Seorang lelaki, dengan badan berotot, dan tanpa pakaian. Yang mengagumkan adalah kemaluannya, terombang-ambing seirama langkah kakinya. Gelap, besar, di balik rimbun bulu kemaluan yang lengket di sana-sini. Ketiga petugas bahkan takjub dengan pemandangan tersebut. Bahkan meskipun mereka sudah mengetahui hal ini sebelumnya, sebab mereka sudah bertemu beberapa kali, rasa cemburu akan ukuran kemaluan itu tetap saja menjalar di kepala mereka.
Lelaki gila itu cengar-cengir begitu melihat ketiga petugas. Ia sudah mengenali mereka. Dengan lontong pula, ia tak perlu dibujuk untuk berjalan mengikuti ketiganya.
Mereka membawanya ke pick-up, menaikkannya. Kartomo akan bertugas menjaga kedua orang gila itu, sementara Darto dan Marwan akan mencari dua orang gila lainnya. Jika mereka beruntung, keduanya akan ditemukan sebelum senja datang. Marwan dan Darto cukup mengenal kedua perempuan sinting yang belum mereka tangkap. Keduanya sering berdua kemana-mana, dan memiliki kebiasaan berjalan lebih jauh dari orang-orang gila lainnya.
“Aku benci melihat ada orang gila mati,” gumam Darto sambil berjalan.
“Hmm,” kata Marwan mengikuti. “Cepat atau lambat akan ada orang gila baru di kota. Percayalah. Tuhan maha adil.”
Darto tertawa kecil. Ia tak mengatakan apa pun lagi, berjalan dengan roman lebih riang. Tiba-tiba ia mengalunkan sebaris lagu. Mereka bahkan tak ingat siapa yang menyanyikannya, dan apa judulnya, tapi Marwan buru-buru ikut bernyanyi. Mereka tampak senang, sebab pekerjaan mestinya membuat orang menjadi riang.
***
Musim liburan baru akan datang dua bulan lagi. Marwan berdiri di muka pintu bar, dengan papan besar bertuliskan “Anak di bawah 17 tahun dan berseragam dilarang masuk”. Sepasang pelancong Jepang berdiri di trotoar, di bawah lampu penerang jalan, tampaknya memeriksa satu halaman Lonely Planet. Dua orang gadis Finlandia duduk di kursi teras bar, dengan bir di meja, dan salah satunya asyik membaca Michael Crichton, sementara temannya mendengarkan musik dari iPod. Satu keluarga pelancong lokal, dari logatnya mereka datang dari Makassar, bersepeda lewat di depannya. Musim liburan masih lama, tapi satu-dua pelancong tetap bermunculan. Itu membuat Marwan boleh tersenyum senang. Demikian pula orang-orang di kota itu, tentu saja.Dari arah pantai, berjalan seorang lelaki perlente. Ia tampak menengok ke kiri ke kanan, lalu membaca papan nama bar. Ia menoleh ke arah Marwan. Ragu-ragu sejenak, tapi kemudian ia menghampirinya.
“Bung Marwan?”
“Hm.”
Marwan menunjuk motor Honda 700 merah yang terparkir tak jauh darinya. Si lelaki perlente mengangguk dan mengikuti Marwan ke motor. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Marwan naik dan si lelaki duduk di belakangnya. Pergi meninggalkan bar.
Mereka berkeliling melalui lorong-lorong kecil. Melintasi toko buku loak Big Mushroom, melalui belakang dapur Hotel Rosebud, melintasi jalan menurun dan berbelok di depan sebuah butik kecil, entah bagaimana mereka melewati kembali Big Mushroom di sisi yang lain, deretan rumah penduduk, londri kiloan, sepetak kebun kelapa kecil, lalu masuk ke sebuah gang sempit yang di kiri-kanan berdiri orang-orang. Para penjaga. Orang-orang ini menghentikan Marwan. Memeriksa si lelaki perlente, dan membiarkan mereka lewat.
Di sanalah mereka kemudian berada: di sebuah gedung tua dengan tulisan: No Camera, No Cellphone, No Kids. Mereka masuk melalui pintu dengan dua penjaga, yang kembali memeriksa si perlente. Di dalam gedung, mereka menemukan diri berada di tengah lapangan bulutangkis yang telah lama dirombak menjadi lapangan futsal. Bangku-bangku penonton penuh orang, suara mereka menciptakan dengung monoton. Marwan menuntun si lelaki perlente melewati orang-orang, dan menemukan satu kursi. Si perlente duduk dan mengucapkan terima kasih.
“Nanti temui aku di pintu,” kata Marwan sebelum pergi.
Marwan berdiri dan bersandar di pintu, menunggu pertunjukan. Di tengah arena, keadaan gelap gulita. Ada seseorang bicara penuh semangat di pengeras suara. Kemudian diselingi dengan sebuah lagu. Tak berapa lama si pembawa acara bicara kembali.
Sunyi melanda para penonton. Lampu remang kemerahan menyala di tengah arena. Di sana tampak tiga tempat tidur, dengan tiga orang perempuan telanjang duduk gelisah di masing-masing tempat tidur. Yang menghebohkan penonton, tak lain orang keempat: seorang lelaki penuh otot, dengan kulit gelap, juga telanjang. Kemaluannya membuat mereka terpukau. Lelaki itu tersenyum riang melihat tiga perempuan telanjang. Kemaluannya perlahan-lahan terangkat, dan para penonton semakin bertanya-tanya berapa ukurannya.
“Sayang sekali, satu di antara mereka sudah mati. Polisi bahkan malas mengangkatnya dari sungai,” kata Marwan, kepada seseorang yang berdiri di sampingnya. Ia mengambil rokok dari saku bajunya, menawarkan, dan menyulutnya.
***
Ketika musim liburan tiba, Marwan dan kedua temannya naik kembali ke atas pick-up. Orang-orang gila itu berkeliaran di jalan-jalan kota, dan mereka harus membuangnya ke tengah hutan jati. Kadang-kadang ada penduduk yang mengeluh, “Kenapa mereka selalu kembali ke sini? Tak bisakah kita menembak mati saja mereka?”Selama musim liburan, orang-orang gila tak lagi mereka butuhkan. Mereka dibuang sebab bisnis berjalan dengan baik. Sebab itu membuat orang-orang saleh merasa senang.
“Ada orang gila baru,” seru Darto.
Dari belakang kemudi, Marwan mendongak, dan bergumam. “Sayang sekali itu bukan bekas pacarku.”
Dan mereka tertawa sambil menggebrak-gebrak dashboard.